AB XI
MUTASI
• Pengertian Mutasi
• Mekanisme Molekuler Mutasi
• Mutasi Spontan dan Mutasi Induksi
• Estimasi Laju Mutasi Spontan dengan Metode Clb
• Mutagen Kimia dan Fisika
• Mekanisme Perbaikan DNA
• Mutasi Balik dan Mutasi Penekan
• Uji Ames
BAB XI. MUTASI
Fungsi ketiga materi genetik adalah fungsi evolusi, yang agar dapat
melaksanakannya materi genetik harus mempunyai kemampuan untuk melakukan
mutasi. Peristiwa mutasi atau perubahan materi genetik, di samping
segregasi dan rekombinasi, akan menciptakan variasi genetik yang berguna
untuk mengantisipasi perubahan kondisi lingkungan yang sewaktu-waktu
dapat terjadi.
Pengaruh fenotipik yang ditimbulkan oleh mutasi sangat bervariasi, mulai
dari perubahan kecil yang hanya dapat dideteksi melalui analisis
biokimia hingga perubahan pada proses-proses esensial yang dapat
mengakibatkan kematian sel atau bahkan organisme yang mengalaminya.
Jenis sel dan tahap perkembangan individu menentukan besar kecilnya
pengaruh mutasi. Selain itu, pada organisme diploid pengaruh mutasi juga
bergantung kepada dominansi alel. Dalam hal ini, alel mutan resesif
tidak akan memunculkan pengaruh fenotipik selama berada di dalam
individu heterozigot karena tertutupi oleh alel dominannya yang normal.
Kita mengenal berbagai macam peristiwa mutasi sesuai dengan kriteria
yang digunakan untuk mengelompokkannya. Pada organisme multiseluler
dapat dibedakan antara mutasi germinal dan mutasi somatis. Mutasi
germinal terjadi pada sel-sel germinal atau sel-sel penghasil gamet,
sedangkan mutasi somatis terjadi pada sel-sel selain sel germinal.
Mutasi somatis akan menyebabkan terbentuknya khimera, yaitu individu
dengan jaringan normal dan jaringan yang terdiri atas sel-sel somatis
mutan. Alel-alel hasil mutasi somatis tidak akan diwariskan kepada
keturunan individu yang mengalaminya karena mutasi ini tidak
mempengaruhi sel-sel germinal. Pada tanaman tingkat tinggi mutasi
somatis justru sering kali menghasilkan varietas-varietas yang
diinginkan dan untuk perbanyakannya harus dilakukan secara vegetatif.
Mekanisme Molekuler Mutasi
Meskipun tidak selalu, perubahan urutan asam amino pada suatu protein
dapat menyebabkan perubahan sifat-sifat biologi protein tersebut. Hal
ini karena pelipatan rantai polipeptida sebagai penentu struktur tiga
dimensi molekul protein sangat bergantung kepada interaksi di antara
asam-asam amino dengan muatan yang berlawanan. Contoh yang paling sering
dikemukakan adalah perubahan sifat biologi yang terjadi pada molekul
hemoglobin.
Hemoglobin pada individu dewasa normal terdiri atas dua rantai
polipeptida α yang identik dan dua rantai polipeptida β yang identik
juga. Namun, pada penderita anemia bulan sabit (sickle cell anemia)
salah satu asam amino pada polipeptida β, yakni asam glutamat,
digantikan atau disubstitusi oleh valin. Substitusi asam glutamat, yang
bermuatan negatif, oleh valin, yang tidak bermuatan atau netral,
mengakibatkan perubahan struktur hemoglobin dan juga eritrosit yang
membawanya. Hemoglobin penderita anemia bulan sabit akan mengalami
kristalisasi ketika tidak bereaksi dengan oksigen sehingga akan
mengendap di pembuluh darah dan menyumbatnya. Demikian juga,
eritrositnya menjadi lonjong dan mudah pecah.
Seperti dikatakan di atas, perubahan urutan asam amino tidak selalu
menyebabkan perubahan sifat-sifat biologi protein atau menghasilkan
fenotipe mutan. Substitusi sebuah asam amino oleh asam amino lain yang
muatannya sama, misalnya substitusi histidin oleh lisin, sering kali
tidak berpengaruh terhadap struktur molekul protein atau fenotipe
individu. Jadi, ada tidaknya pengaruh substitusi suatu asam amino
terhadap perubahan sifat protein bergantung kepada peran asam amino
tersebut dalam struktur dan fungsi protein.
Setiap perubahan asam amino disebabkan oleh perubahan urutan basa
nukleotida pada molekul DNA. Akan tetapi, perubahan sebuah basa pada DNA
tidak selamanya disertai oleh substitusi asam amino karena sebuah asam
amino dapat disandi oleh lebih dari sebuah triplet kodon (lihat Bab X).
Perubahan atau mutasi basa pada DNA yang tidak menyebabkan substitusi
asam amino atau tidak memberikan pengaruh fenotipik dinamakan mutasi
tenang (silent mutation). Namun, substitusi asam amino yang tidak
menghasilkan perubahan sifat protein atau perubahan fenotipik pun dapat
dikatakan sebagai mutasi tenang.
Mutasi yang terjadi pada sebuah atau sepasang basa pada DNA disebut
sebagai mutasi titik (point mutation). Mekanisme terjadinya mutasi titik
ini ada dua macam, yaitu (1) substitusi basa dan (2) perubahan rangka
baca akibat adanya penambahan basa (adisi) atau kehilangan basa
(delesi). Mutasi titik yang disebabkan oleh substitusi basa dinamakan
mutasi substitusi basa, sedangkan mutasi yang terjadi karena perubahan
rangka baca dinamakan mutasi rangka baca (frameshift mutation) seperti
telah disinggung pada Bab X.
Apabila substitusi basa menyebabkan substitusi asam amino seperti pada
kasus hemoglobin anemia bulan sabit, maka mutasinya dinamakan mutasi
salah makna (missense mutation). Sementara itu, jika substitusi basa
menghasilkan kodon stop, misalnya UAU (tirosin) menjadi UAG (stop), maka
mutasinya dinamakan mutasi tanpa makna (nonsense mutation) atau mutasi
terminasi rantai (chain termination mutation).
Substitusi basa pada sebuah triplet kodon dapat menghasilkan sembilan
kemungkinan perubahan triplet kodon karena tiap basa mempunyai tiga
kemungkinan substitusi. Sebagai contoh, kodon UAU dapat mengalami
substitusi basa menjadi AAU (asparagin), GAU (asam aspartat), CAU
(histidin), UUU (fenilalanin), UGU (sistein), UCU (serin), UAA (stop),
UAG (stop), dan UAC (tirosin). Kita bisa melihat bahwa perubahan yang
terakhir, yakni UAC, tidak menghasilkan substitusi asam amino karena
baik UAC maupun UAU menyandi asam amino tirosin.
Mutasi substitusi basa dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu
transisi dan transversi. Pada transisi terjadi substitusi basa purin
oleh purin atau substitusi pirimidin oleh pirimidin, sedangkan pada
transversi terjadi substitusi purin oleh pirimidin atau pirimidin oleh
purin. Secara skema kedua macam substitusi basa tersebut dapat dilihat
pada Gambar 11.1.
A
T C
G
Gambar 11.1. Skema substitusi basa nukleotida
transisi transversi
Sementara itu, mutasi rangka baca akan mengakibatkan perubahan rangka
baca semua triplet kodon di belakang tempat terjadinya mutasi tersebut.
Akan tetapi, adisi atau pun delesi sebanyak kelipatan tiga basa pada
umumnya tidak akan menimbulkan pengaruh fenotipik mutasi rangka baca.
Demikian pula, seperti dikatakan pada Bab X adisi satu basa yang
diimbangi oleh delesi satu basa di tempat lain, atau sebaliknya, akan
memperbaiki kembali rangka baca di belakang tempat tersebut. Selain itu,
apabila adisi atau delesi terjadi pada daerah yang sangat dekat dengan
ujung karboksil suatu protein, maka mutasi rangka baca yang
ditimbulkannya tidak akan menyebabkan sintesis protein nonfungsional.
Dengan perkataan lain, mutasi tidak memberikan pengaruh fenotipik.
Mutasi Spontan
Perubahan urutan basa nukleotida berlangsung spontan dan acak. Tidak ada
satu pun cara yang dapat digunakan untuk memprediksi saat dan tempat
akan terjadinya suatu mutasi. Meskipun demikian, setiap gen dapat
dipastikan mengalami mutasi dengan laju tertentu sehingga memungkinkan
untuk ditetapkan peluang mutasinya. Artinya, kita dapat menentukan
besarnya peluang bagi suatu gen untuk bermutasi sehingga besarnya
peluang untuk mendapatkan suatu alel mutan dari gen tersebut di dalam
populasi juga dapat dihitung.
Terjadinya suatu peristiwa mutasi tidak dapat dikatakan sebagai hasil
adaptasi sel atau organisme terhadap kondisi lingkungannya. Kebanyakan
mutasi memperlihatkan pengaruh yang sangat bervariasi terhadap tingkat
kemampuan adaptasi sel atau organisme, mulai dari netral (sangat
adaptable) hingga letal (tidak adaptable). Oleh karena itu, tidak ada
korelasi yang nyata antara mutasi dan adaptasi. Namun, pemikiran bahwa
mutasi tidak ada sangkut pautnya dengan adaptasi tidak diterima oleh
sebagian besar ahli biologi hingga akhir tahun 1940-an ketika Joshua dan
Esther Lederberg melalui percobaannya pada bakteri membuktikan bahwa
mutasi bukanlah hasil adaptasi.
Dengan teknik yang dinamakan replica plating koloni-koloni bakteri pada
kultur awal (master plate) dipindahkan ke medium baru (replica plate)
menggunakan velvet steril sehingga posisi setiap koloni pada medium baru
akan sama dengan posisinya masing-masing pada kultur awal. Medium baru
dibuat dua macam, yaitu medium nonselektif seperti pada kultur awal dan
medium selektif yang mengandung lebih kurang 109 fag T1. Hanya
koloni-koloni mutan yang resisten terhadap infeksi fag T1 (mutan T1-r)
yang dapat tumbuh pada medium selektif ini. Dari percobaan tersebut
terlihat bahwa koloni-koloni mutan T1-r yang tumbuh pada medium selektif
tidak terbentuk sebagai hasil adaptasi terhadap kehadiran fag T1,
tetapi sebenarnya sudah ada semenjak pada kultur awal. Dengan demikian,
teknik selektif semacam itu hanya akan menyeleksi mutan-mutan yang telah
ada sebelumnya di dalam suatu populasi.
master plate
transfer
replica plate replica plate
(medium nonselektif) (medium selektif)
Gambar 11.2. Percobaan transfer koloni (replica plating)
= koloni mutan T1-r
Teknik selektif seperti yang diuraikan di atas memberikan dasar bagi
pemahaman tentang munculnya resistensi berbagai populasi hama dan
penyakit terhadap senyawa kimia yang digunakan untuk mengendalikannya.
Sebagai contoh, sejumlah populasi lalat rumah saat ini nampak sangat
resisten terhadap insektisida DDT. Hal ini menunjukkan betapa seleksi
telah memunculkan populasi lalat rumah dengan kombinasi mekanisme
enzimatik, anatomi, dan perilaku untuk dapat resisten terhadap atau
menghindari bahan kimia tersebut. Begitu pula, gejala peningkatan
resistensi terhadap antibiotik yang diperlihatkan oleh berbagai macam
bakteri penyebab penyakit pada manusia tidak lain merupakan akibat
proses seleksi untuk memunculkan dominansi strain-strain mutan tahan
antibiotik yang sebenarnya memang telah ada sebelumnya.
Laju mutasi
Laju mutasi adalah peluang terjadinya mutasi pada sebuah gen dalam satu
generasi atau dalam pembentukan satu gamet. Pengukuran laju mutasi
penting untuk dilakukan di dalam genetika populasi, studi evolusi, dan
analisis pengaruh mutagen lingkungan.
Mutasi spontan biasanya merupakan peristiwa yang sangat jarang terjadi
sehingga untuk memperkirakan peluang kejadiannya diperlukan populasi
yang sangat besar dengan teknik tertentu. Salah satu teknik yang telah
digunakan untuk mengukur laju mutasi adalah metode ClB yang ditemukan
oleh Herman Muller. Metode ClB mengacu kepada suatu kromosom X lalat
Drosophila melanogaster yang memiliki sifat-sifat tertentu. Teknik ini
dirancang untuk mendeteksi mutasi yang terjadi pada kromosom X normal.
Kromosom X pada metode ClB mempunyai tiga ciri penting, yaitu (1)
inversi yang sangat besar (C), yang menghalangi terjadinya pindah silang
pada individu betina heterozigot; (2) letal resesif (l); dan (3) marker
dominan Bar (B) yang menjadikan mata sempit (lihat Bab VII). Dengan
adanya letal resesif, individu jantan dengan kromosom tersebut dan
individu betina homozigot tidak akan bertahan hidup.
Persilangan pertama dilakukan antara betina heterozigot untuk kromosom
ClB dan jantan dengan kromosom X normal. Di antara keturunan yang
diperoleh, dipilih individu betina yang mempunyai mata Bar untuk
selanjutnya pada persilangan kedua dikawinkan dengan jantan normal.
Individu betina dengan mata Bar ini jelas mempunyai genotipe heterozigot
karena menerima kromosom ClB dari tetua betina dan kromosom X normal
dari tetua jantannya. Hasil persilangan kedua yang diharapkan adalah dua
betina berbanding dengan satu jantan. Ada tidaknya individu jantan
hasil persilangan kedua ini digunakan untuk mengestimasi laju mutasi
letal resesif.
Oleh karena pindah silang pada kromosom X dihalangi oleh adanya inversi
(C) pada individu betina, maka semua individu jantan hasil persilangan
hanya akan mempunyai genotipe + . Kromosom X pada individu jantan
ini berasal dari tetua jantan awal (persilangan pertama). Sementara itu,
individu jantan dengan kromosom X ClB selalu mengalami kematian.
Meskipun demikian, kadang-kadang pada persilangan kedua tidak diperoleh
individu jantan sama sekali. Artinya, individu jantan yang mati tidak
hanya yang membawa kromosom ClB, tetapi juga individu yang membawa
kromosom X dari tetua jantan awal. Jika hal ini terjadi, kita dapat
menyimpulkan bahwa kromosom X pada tetua jantan awal yang semula normal
berubah atau bermutasi menjadi kromosom X dengan letal resesif. Dengan
menghitung frekuensi terjadinya kematian pada individu jantan yang
seharusnya hidup ini, dapat dilakukan estimasi kuantitatif terhadap laju
mutasi yang menyebabkan terbentuknya alel letal resesif pada kromosom
X. Ternyata, lebih kurang 0,15% kromosom X terlihat mengalami mutasi
semacam itu selama spermatogenesis, yang berarti bahwa laju mutasi untuk
mendapatkan letal resesif per kromosom X per gamet adalah 1,5 x 10-3.
betina Bar ClB + jantan normal
ClB ? + ? ClB +
letal
betina Bar
(dipilih untuk disilangkan dengan jantan normal)
ClB ? +
ClB + ? + ClB ?
letal letal
jika X-nya
membawa
letal resesif
Gambar 11.3. Metode ClB untuk mengestimasi laju mutasi
= kromosom X yang berasal dari tetua jantan pada
persilangan pertama
Pada metode ClB tidak diketahui laju mutasi gen tertentu karena kita
tidak dapat memastikan banyaknya gen pada kromosom X yang apabila
mengalami mutasi akan berubah menjadi alel resesif yang mematikan.
Namun, semenjak ditemukannya metode ClB berkembang pula sejumlah metode
lain untuk mengestimasi laju mutasi pada berbagai organisme. Hasilnya
menunjukkan bahwa laju mutasi sangat bervariasi antara gen yang satu dan
lainnya. Sebagai contoh, laju mutasi untuk terbentuknya tubuh berwarna
kuning pada Drosophila adalah 10-4 per gamet per generasi, sementara
laju mutasi untuk terbentuknya resitensi terhadap streptomisin pada E.
coli adalah 10-9 per sel per generasi.
Asal-mula terjadinya mutasi spontan
Ada tiga mekanisme yang paling penting pada mutasi spontan, yaitu (1)
kesalahan selama replikasi, (2) perubahan basa nukleotida secara
spontan, dan (3) peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan penyisipan
(insersi) dan pemotongan (eksisi) unsur-unsur yang dapat berpindah
(transposable elements).
Pada Bab IX telah kita bicarakan bahwa enzim Pol I dan Pol III
adakalanya membuat kesalahan dengan menyisipkan basa yang salah ketika
replikasi DNA sedang berlangsung. Namun, enzim-enzim DNA polimerase ini
juga diketahui mempunyai kemampuan untuk memperbaiki kesalahan (proof
reading) melalui aktivitas eksonukleasenya dengan cara memotong basa
yang salah pada ujung 3’ untai DNA yang sedang dipolimerisasi.
Aktivitas penyuntingan oleh DNA polimerase boleh dikatakan sangat
efisien meskipun tidak berarti sempurna benar. Kadang-kadang suatu
kesalahan replikasi luput dari mekanisme penyuntingan tersebut. Akan
tetapi, ada sistem lain yang berfungsi dalam perbaikan kesalahan
replikasi DNA. Sistem ini dikenal sebagai sistem perbaikan salah
pasangan (mismatch repair). Berbeda dengan sistem penyuntingan oleh DNA
polimerase, sistem perbaikan salah pasangan tidak bekerja pada ujung 3’
untai DNA yang sedang tumbuh, tetapi mengenali kesalahan basa di dalam
untai DNA. Caranya, segmen DNA yang membawa basa yang salah dibuang
sehingga terdapat celah (gap) di dalam untai DNA. Selanjutnya, dengan
bantuan enzim Pol I celah ini akan diisi oleh segmen baru yang membawa
basa yang telah diperbaiki.
Sistem perbaikan salah pasangan, seperti halnya mekanisme penyuntingan
oleh DNA polimerase, tidaklah sempurna sama sekali. Kadang-kadang ada
juga kesalahan pasangan basa yang tidak dikenalinya. Jika hal ini
terjadi, timbullah mutasi spontan.
5’ GAGTCGAATC 3’ untai cetakan
3’ CTCAGTTTAG 5’ untai baru
GAGTCGAATC
CTC AG AGTTT segmen dengan
perbaikan eksisi basa yang salah
GAGTCGAATC
CTCAGCTTAG untai yang telah diperbaiki
Gambar 11.4. Mekanisme perbaikan salah pasangan
Basa-basa tautomerik adakalanya dapat tergabung dengan benar ke dalam
molekul DNA. Pada saat penggabungan berlangsung, basa tersebut akan
membentuk ikatan hidrogen yang benar dengan basa pada untai DNA cetakan
sehingga fungsi penyuntingan oleh DNA polimerase tidak dapat
mengenalinya. Sistem perbaikan salah pasangan akan mengoreksi kesalahan
semacam itu. Akan tetapi, jika segmen yang membawa kesalahan basa
tersebut telah mengalami metilasi, maka sistem perbaikan salah pasangan
tidak dapat membedakan antara untai cetakan dan untai baru. Hal ini akan
menimbulkan mutasi spontan.
Sumber mutasi spontan lainnya adalah perubahan basa sitosin yang telah
termetilasi menjadi timin karena hilangnya gugus amino. Sitosin yang
seharusnya berpasangan dengan guanin berubah menjadi timin yang
berpasangan dengan adenin sehingga terjadilah mutasi transisi (purin
menjadi purin, pirimidin menjadi pirimidin). Dalam hal ini hilangnya
gugus amino dari sitosin yang telah termetilasi tidak dapat dikenali
oleh sistem perbaikan salah pasangan, dan basa timin yang seharusnya
sitosin tersebut tidak dilihat sebagai basa yang salah.
Mutasi Induksi
Laju mutasi spontan yang sangat rendah ternyata dapat ditingkatkan
dengan aplikasi berbagai agen eksternal. Mutasi dengan laju yang
ditingkatkan ini dinamakan mutasi induksi. Bukti pertama bahwa agen
eksternal dapat meningkatkan laju mutasi diperoleh dari penelitian H.
Muller pada tahun 1927 yang memperlihatkan bahwa sinar X dapat
menyebabkan mutasi pada Drosophila. Agen yang dapat menyebabkan
terjadinya mutasi seperti sinar X ini dinamakan mutagen.
Semenjak penemuan Muller tersebut, berbagai mutagen fisika dan kimia
digunakan untuk meningkatkan laju mutasi. Dengan mutagen-mutagen ini
dapat diperoleh bermacam-macam mutan pada beberapa spesies organisme.
Basa analog
Basa analog merupakan senyawa kimia yang struktur molekulnya sangat
menyerupai basa nukleotida DNA sehingga dapat menjadi bagian yang
menyatu di dalam molekul DNA selama berlangsungnya replikasi normal. Hal
ini karena suatu basa analog dapat berpasangan dengan basa tertentu
pada untai DNA cetakan. Namun, bisa juga masuknya sebuah basa analog
terkoreksi melalui mekanisme penyuntingan oleh enzim DNA polimerase.
Apabila suatu basa analog dapat membentuk ikatan hidrogen dengan dua
macam cara, maka basa analog ini dikatakan bersifat mutagenik. Sebagai
contoh, basa 5-bromourasil (BU) yang diketahui mudah sekali bergabung
dengan DNA bakteri dan virus, dapat mempunyai dua macam bentuk, yaitu
keto dan enol sehingga dapat membentuk ikatan hidrogen dengan dua macam
cara. Basa ini analog dengan basa timin karena hanya berbeda pada posisi
gugus metil yang diganti dengan atom bromium. Jika sel yang akan
dimutasi ditumbuhkan pada medium yang mengandung BU dalam bentuk keto,
maka selama replikasi DNA adakalanya timin digantikan oleh BU sehingga
pasangan basa AT berubah menjadi ABU. Penggantian ini belum dapat
dikatakan sebagai peristiwa mutasi. Akan tetapi, jika BU berada dalam
bentuk enol, maka BU akan berpasangan dengan guanin (GBU), dan pada
putaran replikasi berikutnya, molekul DNA yang baru akan mempunyai
pasangan basa GC pada posisi yang seharusnya ditempati oleh pasangan
basa AT. Dengan demikian, telah terjadi mutasi tautomerik berupa
transisi dari AT ke GC (Gambar 11.5).
Percobaan-percobaan berikutnya menunjukkan bahwa mekanisme mutagenesis
BU dapat terjadi dengan cara lain. Konsentrasi deoksinukleosida trifofat
(dNTP) di dalam sel pada umumnya diatur oleh konsentrasi deoksitimidin
trifosfat (dTTP). Artinya, konsentrasi dTTP akan menentukan konsentrasi
ketiga dNTP lainnya untuk keperluan sintesis DNA. Apabila suatu saat
dTTP terdapat dalam jumlah yang sangat berlebihan, maka akan terjadi
hambatan dalam sintesis dCTP. Sementara itu, BU sebagai basa yang analog
dengan timin juga dapat menghambat sintesis dCTP. Jika BU ditambahkan
ke dalam medium pertumbuhan, maka dTTP akan disintesis dalam jumlah
normal tetapi sintesis dCTP akan sangat terhambat. Akibatnya, nisbah
dTTP terhadap dCTP menjadi sangat tinggi dan frekuensi salah pasangan
GT, yang seharusnya GC, akan meningkat. Mekanisme penyuntingan dan
perbaikan salah pasangan sebenarnya dapat membuang basa timin yang salah
berpasangan dengan guanin tersebut. Akan tetapi, keberadaan BU ternyata
menyebabkan laju perbaikan menjadi tertinggal oleh laju salah pasangan.
Pada putaran replikasi berikutnya basa timin pada pasangan GT akan
berpasangan dengan adenin sehingga posisi yang seharusnya ditempati oleh
GC sekarang diganti dengan AT. Dengan perkataan lain, BU telah
menginduksi mutasi tautomerik berupa transisi GC menjadi AT.
A=T
substitusi T oleh BU (keto)
A=BU
replikasi 1
A=T G=BU pengikatan G oleh BU (enol)
replikasi 2
A=T A=T G=C A=BU
transisi
Gambar 11.5. Mutasi tautomerik (transisi) akibat basa analog 5-bromourasil
Mutagen-mutagen kimia
Berbeda dengan basa analog yang hanya bersifat mutagenik ketika DNA
sedang melakukan replikasi, mutagen kimia dapat mengakibatkan mutasi
pada DNA baik yang sedang bereplikasi maupun yang tidak sedang
bereplikasi. Beberapa di antara mutagen kimia, misalnya asam nitros
(HNO2), menimbulkan perubahan yang sangat khas. Namun, beberapa lainnya,
misalnya agen-agen alkilasi, memberikan pengaruh dengan spektrum yang
luas.
HNO2 bekerja sebagai mutagen dengan mengubah gugus amino (NH2) pada basa
adenin, sitosin, dan guanin menjadi gugus keto (=O) sehingga
spesifisitas pengikatan hidrogen pada basa-basa tersebut juga mengalami
perubahan. Deaminasi adenin akan menghasilkan hipoksantin (H), yang
berpasangan dengan sitosin. Hal ini mengakibatkan terjadinya transisi AT
menjadi GC melaui HC. Dengan mekanisme serupa, deaminasi sitosin yang
menghasilkan urasil akan mengakibatkan transisi GC menjadi AT melalui
AU.
Agen alkilasi etilmetan sulfonat (EMS) dan mustard nitrogen merupakan
mutagen-mutagen kimia yang banyak digunakan dalam penelitian genetika.
Kedua-duanya akan memberikan gugus etil (C2H5) atau sejenisnya kepada
basa DNA. Jika HNO2 terbukti sangat bermanfaat pada sistem prokariot,
maka agen-agen alkilasi sangat efektif untuk digunakan pada sistem
eukariot.
Alkilasi pada basa G atau T akan menyebabkan terjadinya salah pasangan
yang mengarah kepada transisi AT→ GC dan GC → AT. Selain itu, EMS dapat
juga bereaksi dengan A dan C.
O CH2 – CH2 – Cl
CH3 – CH2 – O – S – CH3 HN
O CH2 – CH2 – Cl
etilmetan sulfonat mustard nitrogen
Gambar 11.6. Struktur molekul dua agen alkilasi yang umum digunakan
Fenomena lain yang dapat muncul akibat terjadinya alkilasi guanin adalah
depurinasi, yaitu hilangnya basa purin yang telah mengalami alkilasi
tersebut dari molekul DNA karena patahnya ikatan yang menghubungkannya
dengan gula deoksiribosa. Depurinasi tidak selalu bersifat mutagenik
karena celah yang terbentuk dengan hilangnya basa purin tadi dapat
segera diperbaiki. Akan tetapi, garpu replikasi sering kali terlebih
dahulu telah mencapai celah tersebut sebelum perbaikan sempat dilakukan.
Jika hal ini terjadi, maka replikasi akan terhenti tepat di depan celah
dan kemudian dimulai lagi dengan menyisipkan basa adenin pada posisi
yang komplementer dengan celah tersebut. Akibatnya, setelah replikasi
basa adenin di posisi celah tersebut akan berpasangan dengan timin atau
terjadi pasangan TA. Padahal seharusnya pasangan basa pada posisi celah
tersebut adalah GC (bukankah yang hilang adalah G?). Oleh karena itu
pada posisi celah tersebut terjadi perubahan dari GC menjadi TA atau
purin-pirimidin menjadi pirimidin-purin. Perubahan ini tidak lain
merupakan mutasi tautomerik jenis transversi.
Interkalasi
Senyawa kimia akridin, yang salah satu contohnya adalah proflavin (Bab
X), memiliki struktur molekul berupa tiga cincin sehingga sangat
menyerupai pasangan basa purin – pirimidin atau pirimidin – purin.
Dengan struktur yang sangat menyerupai sebuah pasangan basa, akridin
dapat menyisip di antara dua pasangan basa yang berdekatan pada molekul
DNA. Peristiwa penyisipan semacam ini dinamakan interkalasi.
Pengaruh interkalasi terhadap molekul DNA adalah terjadinya perenggangan
jarak antara dua pasangan basa yang berurutan. Besarnya perenggangan
sama dengan tebal molekul akridin. Apabila DNA yang membawa akridin tadi
melakukan replikasi, maka untai DNA hasil replikasi akan ada yang
mengalami adisi dan ada yang mengalami delesi pada posisi terjadinya
interkalasi. Dengan demikian, mutasi yang ditimbulkan bukanlah mutasi
tautomerik, melainkan mutasi rangka baca.
Iradiasi ultraviolet
Sinar ultraviolet (UV) dapat menghasilkan pengaruh, baik letal maupun
mutagenik, pada semua jenis virus dan sel. Pengaruh ini disebabkan oleh
terjadinya perubahan kimia pada basa DNA akibat absorpsi energi dari
sinar tersebut. Pengaruh terbesar yang ditimbulkan oleh iradiasi sinar
UV adalah terbentuknya pirimidin dimer, khususnya timin dimer, yaitu
saling terikatnya dua molekul timin yang berurutan pada sebuah untai
DNA. Dengan adanya timin dimer, replikasi DNA akan terhalang pada posisi
terjadinya timin dimer tersebut. Namun, kerusakan DNA ini pada umumnya
dapat diperbaiki melalui salah satu di antara empat macam mekanisme,
yaitu fotoreaktivasi, eksisi, rekombinasi, dan SOS.
Fotoreaktivasi
Mekanisme perbaikan ini bergantung kepada cahaya. Dengan adanya cahaya,
ikatan antara timin dan timin akan terputus oleh suatu enzim tertentu.
Sebenarnya enzim tersebut telah mengikat dimer, baik ketika ada cahaya
maupun tidak ada cahaya. Akan tetapi, aktivasinya memerlukan spektrum
biru cahaya sehingga enzim tersebut hanya bisa bekerja apabila ada
cahaya.
Eksisi
Perbaikan dengan cara eksisi merupakan proses enzimatik bertahap yang
diawali dengan pembuangan dimer dari molekul DNA, diikuti oleh
resintesis segmen DNA baru, dan diakhiri oleh ligasi segmen tersebut
dengan untai DNA. Ada dua mekanisme eksisi yang agak berbeda. Pada
mekanisme pertama, enzim endonuklease melakukan pemotongan (eksisi) pada
dua tempat yang mengapit dimer. Akibatnya, segmen yang membawa dimer
akan terlepas dari untai DNA. Pembuangan segmen ini kemudian diikuti
oleh sintesis segmen baru yang akan menggantikannya dengan bantuan enzim
DNA polimerase I. Akhirnya, segmen yang baru tersebut diligasi dengan
untai DNA sehingga untai DNA ini sekarang tidak lagi membawa dimer.
Pada mekanisme yang kedua pemotongan mula-mula hanya terjadi pada satu
tempat, yakni di sekitar dimer. Pada celah yang terbentuk akibat
pemotongan tersebut segera terjadi sintesis segmen baru dengan urutan
basa yang benar. Pada waktu yang sama terjadi pemotongan lagi pada
segmen yang membawa dimer sehingga segmen ini terlepas dari untai DNA.
Seperti pada mekanisme yang pertama, proses ini diakhiri dengan ligasi
segmen yang baru tadi dengan untai DNA.
Rekombinasi
Berbeda dengan dua mekanisme yang telah dijelaskan sebelumnya, perbaikan
kerusakan DNA dengan cara rekombinasi terjadi setelah replikasi
berlangsung. Oleh karena itu, mekanisme ini sering juga dikatakan
sebagai rekombinasi pascareplikasi.
Ketika DNA polimerase sampai pada suatu dimer, maka polimerisasi akan
terhenti sejenak untuk kemudian dimulai lagi dari posisi setelah dimer.
Akibatnya, untai DNA hasil polimerisasi akan mempunyai celah pada posisi
dimer. Mekanisme rekombinasi pada prinsipnya merupakan cara untuk
menutup celah tersebut menggunakan segmen yang sesuai pada untai DNA
cetakan yang membawa dimer. Untuk jelasnya, skema mekanisme tersebut
dapat dilihat pada Gambar 11.8.
DNA yang membawa dimer pada kedua untainya melakukan replikasi (Gambar
11.8.a) sehingga pada waktu garpu replikasi mencapai dimer akan
terbentuk celah pada kedua untai DNA yang baru (Gambar 11.8.b). Celah
akan diisi oleh segmen yang sesuai dari masing-masing untai DNA cetakan
yang membawa dimer. Akibatnya, pada untai DNA cetakan terdapat segmen
yang hilang. Jadi, sekarang kedua untai DNA cetakan selain membawa dimer
juga mempunyai celah, sedangkan kedua untai DNA baru tidak mempunyai
celah lagi (Gambar 11.8.c). Akhirnya, segmen penutup celah akan
terligasi dengan sempurna pada masing-masing untai DNA baru (Gambar
11.8.d).
Mekanisme SOS
Mekanisme perbaikan DNA dengan sistem SOS dapat dilihat sebagai jalan
pintas yang memungkinkan replikasi tetap berlangsung meskipun harus
melintasi dimer. Hasilnya berupa untai DNA yang utuh tetapi sering kali
sangat defektif. Oleh karena itu, mekanisme SOS dapat dikatakan sebagai
sistem perbaikan yang rentan terhadap kesalahan.
dimer
pemotongan di dua tempat pemotongan di satu tempat
di sekitar dimer
resintesis segmen baru oleh Pol I
pemotongan segmen
ligasi yang membawa dimer
ligasi
Gambar 11.7. Mekanisme eksisi untuk memperbaiki DNA
Ketika sistem SOS aktif, sistem penyuntingan oleh DNA polimerase III
justru menjadi tidak aktif. Hal ini dimaksudkan agar polimerisasi tetap
dapat berjalan melintasi dimer. Untai DNA yang baru akan mempunyai dua
basa adenin berurutan pada posisi dimer (dalam kasus timin dimer).
Dengan sendirinya, kedua adenin ini tidak dapat berpasangan dengan timin
karena kedua timin berada dalam bentuk dimer. Sistem penyuntingan tidak
dapat memperbaiki kesalahan ini karena tidak aktif, sedangkan sistem
perbaikan salah pasangan sebenarnya dapat memperbaikinya. Namun, karena
jumlah dimer di dalam setiap sel yang mengalami iradiasi UV biasanya
begitu banyak, maka sistem perbaikan salah pasangan tidak dapat
memperbaiki semua kesalahan yang ada. Akibatnya, mutasi tetap terjadi.
Pengaruh mutagenik iradiasi UV memang hampir selalu merupakan akibat
perbaikan yang rentan terhadap kesalahan.
a) b)
d) c)
Gambar 11.8. Skema mekanisme rekombinasi pascareplikasi
= pirimidin dimer
= penutupan celah oleh segmen dari untai DNA
cetakan yang membawa dimer
Radiasi pengion
Radiasi pengion mempunyai energi yang begitu besar sehingga molekul air
dan senyawa kimia lainnya yang terkena olehnya akan terurai menjadi
fragmen-fragmen bermuatan listrik. Semua bentuk radiasi pengion akan
menyebabkan pengaruh mutagenik dan letal pada virus dan sel. Radiasi
pengion meliputi sinar X beserta partikel-partikelnya dan radiasi yang
dihasilkan oleh unsur-unsur radioaktif seperti partikel α, β, dan sinar
γ.
Intensitas radiasi pengion dinyatakan secara kuantitatif dengan beberapa
macam cara. Ukuran yang paling lazim digunakan adalah rad, yang
didefinisikan sebagai besarnya radiasi yang menyebabkan absorpsi energi
sebesar 100 erg pada setiap gram materi.
Frekuensi mutasi yang diinduksi oleh sinar X sebanding dengan dosis
radiasi yang diberikan. Sebagai contoh, frekuensi letal resesif pada
kromosom X Drosophila meningkat linier sejalan dengan meningkatnya dosis
radiasi sinar X. Pemaparan sebesar 1000 rad meningkatkan frekuensi
mutasi dari laju mutasi spontan sebesar 0,15% menjadi 3%. Pada
Drosophila tidak terdapat ambang bawah dosis pemaparan yang yang tidak
menyebabkan mutasi. Artinya, betapapun rendahnya dosis radiasi, mutasi
akan tetap terinduksi.
Pengaruh mutagenik dan letal yang ditimbulkan oleh radiasi pengion
terutama berkaitan dengan kerusakan DNA. Ada tiga macam kerusakan DNA
yang disebabkan oleh radiasi pengion, yaitu kerusakan pada salah satu
untai, kerusakan pada kedua untai, dan perubahan basa nukleotida. Pada
eukariot radiasi pengion dapat menyebabkan kerusakan kromosom, yang
biasanya bersifat letal. Akan tetapi, pada beberapa organisme terdapat
sistem yang dapat memperbaiki kerusakan kromosom tersebut meskipun
perbaikan yang dilakukan sering mengakibatkan delesi, duplikasi,
inversi, dan translokasi.
Radiasi pengion banyak digunakan dalam terapi tumor. Pada prinsipnya
perlakuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan frekuensi kerusakan
kromosom pada sel-sel yang sedang mengalami mitosis. Oleh karena tumor
mengandung banyak sekali sel yang mengalami mitosis sementara jaringan
normal tidak, maka sel tumor yang dirusak akan jauh lebih banyak
daripada sel normal yang dirusak. Namun, tidak semua sel tumor mengalami
mitosis pada waktu yang sama. Oleh karena itu, iradiasi biasanya
dilakukan dengan selang waktu beberapa hari agar sel-sel tumor yang
semula sedang beristirahat kemudian melakukan mitosis. Diharapkan
setelah iradiasi diberikan selama kurun waktu tertentu, semua sel tumor
akan rusak.
Mutasi Balik dan Mutasi Penekan
Kebanyakan mutasi yang telah kita bicarakan hingga saat ini adalah
perubahan dari bentuk alami atau normal ke bentuk mutan, atau sering
dikatakan sebagai mutasi ke depan (forward mutation). Namun, seperti
telah disinggung pada Bab X, mutasi dapat juga berlangsung dari bentuk
mutan ke bentuk normal. Mutasi semacam ini dinamakan mutasi balik atau
reversi. Ada dua mekanisme yang berbeda pada mutasi balik, yaitu (1)
perubahan urutan basa pada DNA mutan sehingga benar-benar pulih seperti
urutan basa pada fenotipe normalnya dan (2) terjadinya mutasi kedua di
suatu tempat lainnya di dalam genom yang mengimbangi atau menekan
pengaruh mutasi pertama sehingga mutasi yang kedua tersebut sering
disebut sebagai mutasi penekan (suppressor mutation).
Mekanisme mutasi balik berupa mutasi penekan jauh lebih umum dijumpai
daripada mekanisme yang pertama. Mutasi penekan dapat terjadi di suatu
tempat di dalam gen yang sama dengan mutasi pertama yang ditekannya.
Dengan perkataan lain, terjadi penekanan intragenik. Akan tetapi, mutasi
penekan dapat juga terjadi di dalam gen yang lain atau bahkan di dalam
kromosom yang lain sehingga peristiwanya dinamakan penekanan intergenik.
Kebanyakan mutasi penekan, baik intra- maupun intergenik, tidak dapat
sepenuhnya memulihkan mutan ke fenotipe normalnya seperti yang akan
diuraikan di bawah ini.
Penekanan intragenik
Pada garis besarnya ada dua macam cara penekanan intragenik. Cara yang
pertama telah kita jelaskan pada Bab X, yaitu perbaikan rangka baca
dengan kompensasi adisi-delesi sehingga rangka baca yang bergeser
sebagian besar dapat dikembalikan seperti semula. Jika bagian yang tidak
dapat dipulihkan bukan merupakan urutan yang esensial, maka pembacaan
rangka baca akan menghasilkan fenotipe normal.
Pada cara yang kedua tidak terjadi adisi dan delesi pada urutan basa,
tetapi perubahan suatu asam amino yang mengakibatkan hilangnya aktivitas
protein akan diimbangi oleh perubahan asam amino lainnya yang
memulihkan aktivitas protein tersebut. Sebagai contoh dapat dikemukakan
penekanan mutasi enzim triptofan sintetase pada E. coli, yang disandi
oleh gen trpA pada. Salah satu di antara dua polipeptida yang menyusun
enzim tersebut adalah polipeptida A yang terdiri atas 268 asam amino.
Pada strain normal asam amino yang ke-210 adalah glisin. Jika asam amino
glisin ini berubah menjadi asam glutamat, maka enzim triptofan
sintetase menjadi tidak aktif. Perubahan glisin menjadi asam glutamat
sebenarnya tidak menyebabkan inaktivasi enzim secara langsung karena
glisin tidak terletak pada tapak aktif. Namun, perubahan ini
mengakibatkan perubahan struktur pelipatan enzim sehingga secara tidak
langsung akan mempengaruhi tapak aktifnya. Sementara itu, asam amino
normal yang ke-174 adalah tirosin, yang interaksinya dengan asam amino
ke-210 menentukan aktivitas enzim. Apabila tirosin berubah menjadi
sistein, maka struktur pelipatan enzim yang telah berubah karena glisin
digantikan oleh asam glutamat justru akan dipulihkan oleh interaksi
sistein dengan asam glutamat. Dengan demikian, aktivitas enzim pun dapat
dipulihkan. Jadi, perubahan glisin menjadi asam glutamat akan ditekan
pengaruhnya oleh perubahan tirosin menjadi sistein. Begitu pula
sebaliknya, jika perubahan tirosin menjadi sistein terjadi terlebih
dahulu, maka pengaruhnya akan ditekan oleh perubahan glisin menjadi asam
glutamat.
Penekanan intergenik
Penekanan intergenik yang paling umum dijumpai adalah penekanan oleh
suatu produk mutasi gen terhadap pengaruh mutasi yang ditimbulkan oleh
sejumlah gen lainnya. Contoh yang paling dikenal dapat dilihat pada
gen-gen penyandi tRNA. Pengaruh yang ditimbulkannya adalah mengubah
kekhususan pengenalan kodon pada mRNA oleh antikodon pada tRNA.
Mutasi semacam itu pertama kali ditemukan pada strain-strain E. coli
yang dapat menekan mutan-mutan fag T4 tertentu. Mutan-mutan ini gagal
untuk membentuk plak (lihat Bab XII) pada strain bakteri standar tetapi
dapat membentuk plak pada strain yang mengalami mutasi penekan. Strain
yang mengalami mutasi penekan ini ternyata juga dapat menekan mutasi
pada sejumlah gen yang terdapat pada genom bakteri sendiri.
Mutasi penekan intergenik dapat memulihkan baik mutasi tanpa makna
(nonsense) maupun mutasi salah makna (missense). Penekanan mutasi tanpa
makna disebabkan oleh mutasi gen penyandi tRNA sehingga terjadi
perubahan antikodon pada tRNA yang memungkinkannya untuk mengenali kodon
stop hasil mutasi. Sebagai contoh, salah satu kodon untuk tirosin,
yakni UAC dapat berubah menjadi kodon stop UAG. Mutasi ini dapat ditekan
oleh molekul tRNA mutan yang membawa triptofan dengan antikodon AUC.
Antikodon pada molekul tRNA normal yang membawa triptofan adalah AAC.
Dengan tRNA mutan, kodon UAG yang seharusnya merupakan kodon stop
berubah menjadi kodon yang menyandi triptofan. Akibatnya, terminasi
dapat dibatalkan, atau dengan perkataan lain, mutasi tRNA telah
memulihkan mutasi tanpa makna.
Penekanan mutasi salah makna oleh mutasi penekan intergenik antara lain
dapat dilihat contohnya pada pemulihan aktivitas protein yang hilang
akibat perubahan valin (tidak bermuatan) menjadi asam aspartat
(bermuatan negatif). Pemulihan terjadi karena asam aspartat digantikan
oleh alanin (tidak bermuatan). Substitusi ini dapat terjadi dengan empat
macam cara, yaitu (1) mutasi antikodon yang memungkinkan tRNA untuk
mengenali kodon yang berbeda seperti halnya yang terjadi pada pemulihan
mutasi tanpa makna, (2) mutasi pada tRNA yang mengubah sebuah basa di
dekat antikodon sehingga tRNA dapat mengenali dua kodon yang berbeda,
(3) mutasi di luar kala (loop) antikodon yang memungkinkan aminoasil
sintetase mengenali tRNA sehingga terjadi asilasi yang menyebabkan tRNA
ini membawa asam amino yang lain, dan (4) mutasi aminoasil sintetase
yang kadang-kadang salah mengasilasi tRNA.
Pada notasi konvensional, mutasi penekan diberi lambang sup diikuti
dengan angka (atau kadang-kadang huruf) yang membedakan penekan yang
satu dengan penekan lainnya. Sel yang tidak mempunyai penekan
dilambangkan dengan sup0.
Mutasi balik sebagai cara untuk mendeteksi mutagen dan karsinogen
Dewasa ini terjadi peningkatan jumlah dan macam bahan kimia yang
mencemari lingkungan. Beberapa di antaranya dikenal potensial sebagai
mutagen. Selain itu, kebanyakan karsinogen juga merupakan mutagen. Oleh
karena itu, uji mutagenesis terhadap bahan-bahan kimia semacam ini perlu
dilakukan.
Cara yang paling sederhana untuk melihat mutagenesis suatu bahan kimia
adalah uji mutasi balik menggunakan mutan nutrisional pada bakteri.
Senyawa yang dicurigai potensial sebagai mutagen ditambahkan ke dalam
medium padat, diikuti dengan penaburan (plating) suatu mutan bakteri
dalam jumlah tertentu. Banyaknya koloni revertan (fenotipe normal hasil
mutasi balik) yang muncul dihitung. Peningkatan frekuensi revertan yang
tajam apabila dibandingkan dengan frekuensi yang diperoleh di dalam
medium tanpa senyawa kimia yang dicurigai tersebut mengindikasikan bahwa
senyawa yang diuji adalah mutagen.
Meskipun demikian, cara seperti tersebut di atas tidak dapat digunakan
untuk memperlihatkan mutagenesis sejumlah besar karsinogen yang
potensial. Hal ini karena banyak sekali senyawa kimia yang tidak
langsung bersifat mutagenik / karsinogenik, tetapi harus melalui
beberapa reaksi enzimatik terlebih dahulu sebelum menjadi mutagen.
Reaksi-reaksi enzimatik tersebut terjadi di dalam organ hati hewan dan
tidak ada kesepadanannya di dalam sel bakteri. Fungsi normal enzim-enzim
itu adalah melindungi organisme dari berbagai bahan beracun dengan cara
mengubahnya menjadi bahan yang tidak beracun. Akan tetapi, ketika
enzim-enzim itu bertemu dengan bahan kimia tertentu, maka mereka akan
mengubah bahan tersebut dari sifatnya yang semula tidak mutagenik
menjadi mutagenik. Enzim-enzim tersebut terdapat di dalam komponen
sel-sel hati yang dinamakan fraksi mikrosomal. Pemberian fraksi
mikrosomal yang berasal dari hati tikus ke dalam medium pertumbuhan
bakteri memungkinkan dilakukannya deteksi mutagenisitas. Perlakuan ini
mendasari teknik pemeriksaan karsinogen menggunakan metode yang
dinamakan uji Ames.
Di dalam uji Ames mutan-mutan bakteri Salmonella typhimurium yang
memerlukan pemberian histidin eksternal atau disebut dengan mutan His-
digunakan untuk menguji mutagenisitas senyawa kimia atas dasar mutasi
baliknya menjadi His+. Mutan-mutan His- membawa baik mutasi tautomerik
maupun mutasi rangka baca. Di samping itu, strain-strain bakteri
tersebut dibuat menjadi lebih sensitif terhadap mutagenesis dengan
menggabungkan beberapa alel mutan yang dapat menginaktifkan sistem
perbaikan eksisi dan menjadikannya lebih permiabel terhadap
molekul-molekul asing. Oleh karena beberapa mutagen hanya bekerja pada
DNA yang sedang melakukan replikasi, maka medium pertumbuhan yang
digunakan harus mengandung histidin dalam jumlah yang cukup untuk
mendukung beberapa putaran replikasi tetapi tidak cukup untuk
memungkinkan terbentuknya koloni yang dapat dilihat. Ke dalam medium
tersebut kemudian ditambahkan mutagen potensial yang akan diuji. Fraksi
mikrosomal dari hati tikus disebarkan ke permukaan medium, diikuti
dengan penaburan bakteri. Apabila bahan kimia yang diuji adalah mutagen
atau diubah menjadi mutagen, maka koloni bakteri akan terbentuk.
Analisis kuantitatif terhadap frekuensi mutasi balik dapat dilakukan
juga dengan membuat variasi jumlah mutagen potensial tersebut di dalam
medium. Frekuensi mutasi balik ternyata bergantung kepada konsentrasi
bahan kimia yang diuji, dan pada karsinogen tertentu juga nampak adanya
korelasi dengan efektivitasnya pada hewan.
Uji Ames saat ini telah banyak digunakan pada beribu-ribu senyawa
seperti pengawet makanan, pestisida, pewarna rambut, dan kosmetika.
Frekuensi mutasi balik yang tinggi tidak serta-merta berarti bahwa
senyawa yang diuji adalah karsinogen, tetapi setidak-tidaknya
memperlihatkan adanya peluang seperti itu. Akibat dilakukannya uji Ames,
banyak industri terpaksa mereformulasi produk-produknya.
Bukti terakhir tentang karsinogenisitas suatu bahan kimia ditentukan
atas dasar hasil uji pembentukan tumor pada hewan-hewan percobaan. Jadi,
uji Ames sebenarnya hanya berperan dalam mengurangi jumlah bahan kimia
yang harus diuji menggunakan hewan percobaan.